Jam tanganku menunjukkan pukul 09.45 WIB, udara panas kota gudeg terasa begitu menggangguku menyusuri pinggiran jalan yang penuh sesak oleh pedagang kaki lima. Kerumunan pengunjung meramaikan jalanan yang mungkin sangat jauh berbeda dengan keadaan dulu, dimana hanya para prajurit keraton yang berjaga diluar.
Lebih dari 200 tahun yang lalu, tempat dimana Kraton Yogyakarta sekarang berada merupakan daerah rawa yang dikenal dengan nama Umbul Pachetokan, yang kemudian dibangun menjadi pesanggrahan yang bernama Ayodya. Kraton Yogyakarta menghadap ke arah utara, pada arah poros Utara selatan, antara gunung merapi dan laut selatan.
Lonceng Kyai Brajanala berdentang beberapa kali, suaranya tidak hanya memenuhi Regol Keben namun terdengar hingga Siti Hinggil dan Bangsal Pagelaran Kraton Yogyakarta. Sedangkan di Sri Manganti terdengar lantunan tembang dalam Bahasa Jawa Kuno yang didendangkan oleh seorang abdi dalem. Sebuah kitab tua, sesaji, lentera, dan gamelan terhampar di depannya.
Beberapa wisatawan mancanegara tampak khusyuk mendengarkan tembang macapat, sesekali mereka terlihat mengambil gambar. Meski tidak tahu arti tembang tersebut, saya hanya berdiri disamping mendengarkan sambil sesekali menekan tombol shutter. Suara tembang jawa yang mengalun pelan bercampur dengan wangi bunga dan asap dupa, menciptakan suasana magi yang melenakan. Di sisi kanan nampak 4 orang abdi dalem lain yang bersiap untuk bergantian nembang. Di luar pendopo, burung-burung berkicau dengan riuh sambil terbang dari pucuk pohon sawo kecik yang banyak tumbuh di kompleks Kraton Yogyakarta kemudian hinggap di atas rerumputan.
Adanya banyak hal yang menarik perhatianku saat berada disini. Mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya lengkap dengan busana tradisionalnya atau koleksi benda-benda keraton. Dan yang paling menarik adalah ketika kulihat seorang abdi dalem dengan baju tradisionalnya duduk bersila dibawah pohon besar. Pertanyaan yang timbul dalam benakku ketika itu adalah "Tu orang ngapain coba???". Koleksi benda-benda keraton disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan, mulai dari keramik dan barang pecah belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta deorama proses pembuatannya. Selain itu, wisatawan juga bisa menikmati pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan tersebut mulai dari wayang orang, macapat, wayang golek, wayang kulit, dan tari-tarian.
Puas berkeliling kompleks keraton yang luas membuatku berpikir sejenak,
Lebih dari 200 tahun yang lalu, tempat dimana Kraton Yogyakarta sekarang berada merupakan daerah rawa yang dikenal dengan nama Umbul Pachetokan, yang kemudian dibangun menjadi pesanggrahan yang bernama Ayodya. Kraton Yogyakarta menghadap ke arah utara, pada arah poros Utara selatan, antara gunung merapi dan laut selatan.
Lonceng Kyai Brajanala berdentang beberapa kali, suaranya tidak hanya memenuhi Regol Keben namun terdengar hingga Siti Hinggil dan Bangsal Pagelaran Kraton Yogyakarta. Sedangkan di Sri Manganti terdengar lantunan tembang dalam Bahasa Jawa Kuno yang didendangkan oleh seorang abdi dalem. Sebuah kitab tua, sesaji, lentera, dan gamelan terhampar di depannya.
Beberapa wisatawan mancanegara tampak khusyuk mendengarkan tembang macapat, sesekali mereka terlihat mengambil gambar. Meski tidak tahu arti tembang tersebut, saya hanya berdiri disamping mendengarkan sambil sesekali menekan tombol shutter. Suara tembang jawa yang mengalun pelan bercampur dengan wangi bunga dan asap dupa, menciptakan suasana magi yang melenakan. Di sisi kanan nampak 4 orang abdi dalem lain yang bersiap untuk bergantian nembang. Di luar pendopo, burung-burung berkicau dengan riuh sambil terbang dari pucuk pohon sawo kecik yang banyak tumbuh di kompleks Kraton Yogyakarta kemudian hinggap di atas rerumputan.
Adanya banyak hal yang menarik perhatianku saat berada disini. Mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya lengkap dengan busana tradisionalnya atau koleksi benda-benda keraton. Dan yang paling menarik adalah ketika kulihat seorang abdi dalem dengan baju tradisionalnya duduk bersila dibawah pohon besar. Pertanyaan yang timbul dalam benakku ketika itu adalah "Tu orang ngapain coba???". Koleksi benda-benda keraton disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan, mulai dari keramik dan barang pecah belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta deorama proses pembuatannya. Selain itu, wisatawan juga bisa menikmati pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan tersebut mulai dari wayang orang, macapat, wayang golek, wayang kulit, dan tari-tarian.
Puas berkeliling kompleks keraton yang luas membuatku berpikir sejenak,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar